Saturday, October 13, 2012

Kedudukan Mahram Di Dalam Islam Siri II








Sambungan :

Mahram Kerana Musyaharah

Musyaharah berasal dari kata ash-Shihr. Imam Ibnu Atsir rahimahullah berkata, “Shihr adalah mahram karena pernikahan” (An Nihayah 3/63).

Contohnya, mahram yang disebabkan oleh musyaharah bagi ibu tiri adalah anak suaminya dari istri yang lain (anak tirinya) dan mahram musyaharah bagi menantu perempuan adalah bapa suaminya (bapa mertua), sedangkan bagi ibu istri (ibu mertua) adalah suami anak perempuannya (menantu laki-laki) [Al Mufashshol 3/162].

Hubungan mahram yang berasal dari pernikahan ini disebutkan oleh Allah swt dalam firmanNya, yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka,atau ayah mereka,atau ayah suami mereka, atau anak lelaki mereka, atau anak lelaki suami mereka.” (Qs. An-Nur: 31)

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri).” (Qs. An-Nisa’: 22)

“Diharamkan atas kamu (mengawini) … ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan istri-istri anak kandungmu (menantu).” (Qs. An-Nisa’: 23)

Yang Diharamkan Dengan Sebab Musyaharah (Perkahwinan)

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa orang-orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab musyaharah adalah:

1. Ayah mertua (ayah suami)
Mencakup ayah suami atau bapa dari ayah dan ibu suami juga bapa-bapa mereka ke atas (Lihat Tafsir As-Sa’di hal: 515, Tafsir Fathul Qodir 4/24 dan Tafsir Qurthubi 12/154).

2. Anak tiri (anak suami dari istri lain)
Termasuk anak tiri adalah cucu tiri baik cucu dari anak tiri lelaki maupun perempuan, begitu juga keturunan mereka (Lihat Tafsir Qurthubi 12/154 dan 5/75, Tafsir Fathul Qodir 4/24, dan Tafsir Ibnu Katsir 1/413).

3. Ayah tiri (suami ibu tapi bukan bapa kandungnya)
Haramnya pernikahan dengan ayah tiri ini berlaku ketika ibunya telah jimak dengan ayah tirinya sebelum bercerai. Namun, jika belum berlaku jimak, maka diperbolehkan.
Abdullah Ibn Abbas ra berkata, “Seluruh wanita yang pernah dinikahi oleh bapa maupun anakmu, maka dia haram bagimu.” (Tafsir Ath- Thobari 3/318)

4. Menantu laki-Laki (suami anak perempuan kandung)
Dan kemahraman ini terjadi sekadar anak perempuannya diakadkan kepada suaminya (Tafsir Ibnu Katsir 1/417).

Laki-laki yang Bukan Mahram bagi Wanita

1. Ayah Dan Anak Angkat
Hukum pengangkatan anak telah dihapuskan dalam Islam sehingga seseorang tidak dapat mengangkat anak kemudian dinasabkan kepada dirinya. Allah swt berfirman, yang artinya, “Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).” (Qs. Al-Ahzab: 4)

Anak angkat tersebut juga tidak dapat menjadi ahli warisnya, karena pada hakikatnya anak tersebut dinilai sebagai orang lain.

2. Sepupu (Anak bapa saudara/ibu saudara dari ayah maupun dari ibu)
Allah swt berfirman tentang hal ini setelah menyebutkan tentang bermacam-macam orang yang haram dinikahi, artinya, “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian…” (Qs. An-Nisa’: 24)

3. Saudara Ipar
Perkara ini berdasarkan pada keterangan hadis, “Waspadailah oleh kalian, menemui para wanita,” Berkatalah seseorang dari puak Ansar, “Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu kalau dia adalah Al-Hamwu (saudara lelaki sebelah suami)?” Rasulullah bersabda, “Al-Hamwu adalah merupakan kematian.” (HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2172)

Imam Al-Baghawi berkata, “Yang dimaksud dalam hadis ini adalah saudara lelaki sebelah suami (ipar) karena dia tidak termasuk mahram bagi si istri. Dan seandainya yang dimaksud adalah mertua padahal ia termasuk mahram, lantas bagaimanakah pendapatmu terhadap orang yang bukan mahram?” Beliau selanjutnya berkata, “Maksudnya, waspadalah terhadap saudara ipar sebagaimana engkau waspada dari kematian.”

4. Mahram Titipan
Biasanya yang sering terjadi adalah apabila ada seorang wanita yang akan bepergian jauh (safar) seperti megerjakan umrah, dia mengangkat seorang lelaki yang ‘berlakon’ sebagai mahram sementaranya. Ini merupakan musibah yang sangat besar dan juga amalan bid’ah yang amat terang.

Hukum Wanita dengan Mahramnya
Antaranya ialah:

1.Tidak boleh menikah dengan mahramnya.
Berdasarkan firman Allah swt, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapamu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. An Nisa’ ayat 22-23)

2. Mahram boleh menjadi wali pernikahan.
Wali adalah syarat sah sebuah pernikahan, riwayat dari Abu Musa Al Asyaari berkata, Rasulullah saw bersabda, “Tidak sah nikah kecuali dengan ada wali.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Hibban. Hadits shahih)

Namun tidak semua mahram berhak menjadi wali pernikahan, begitu juga sebaliknya, tidak semua wali datang dari mahramnya. Contoh wali yang bukan dari mahram ialah seperti anak laki-laki bapa saudara (saudara sepupu laki-laki), orang yang telah memerdekakannya, sultan. Adapun mahram yang tidak boleh menjadi wali ialah seperti mahram karena musyaharah (pernikahan).

3. Wanita tidak boleh safar (bepergian jauh) kecuali dengan mahramnya.
Banyak sekali hadits tentang larangan safar bagi wanita tanpa mahramnya.
Dari Abu Hurairah ra katanya Rasulullah saw dalam satu peperangan bersabda, “Tidak halal bagi wanita yang beriman pada kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan safar sehari semalam tidak bersama mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan), kecuali bersama mahramnya.
Dari Ibn Abbas ra, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Janganlah seorang lelaki berkhalwat (berdua-duaan) dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya, juga jangan safar dengan wanita kecuali bersama mahramnya.” Seorang laki-laki berdiri lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri saya pergi mengerjakan haji, padahal saya menyertai dalam sebuah peperangan.” Maka Rasulullah menjawab, “Berangkatlah untuk berhaji dengan istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Tidak boleh menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali kepada mahramnya.

6. Tidak boleh berjabat tangan kecuali dengan mahramnya.
Dari Makqil bin Yasar ra, Rasulullah saw bersabda, “Seandainya kepala orang ditusuk jarum dari besi itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dan Rauyani. Hadits Hasan)

(Sumber dari artikel : Mahram bagi Wanita-Wanita :Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif -majalah Al Furqon, Edisi 4/ II)

Kedudukan Mahram Di Dalam Islam Siri 1







Kekadang di dalam masyarakat kita soal mahram jarang diambil peduli dan sesetengah mengatakan bahawa sepupu disebelah bapa tidak boleh berkahwin. Selain itu persoalan anak susu juga tidak diambil peduli oleh mereka-mereka yang menyusukan anak jirin hanya dengan maksud menolong. Juga kita dapati di dalam masyarakat kita soal anak angkat juga tidak dititikberatkan oleh keluarga angkat soal aurat. Selain itu aurat sebab Musyaharah atau perkahwinan, juga tidak dititikberatkan di dalam masyarakat kita. Maka rasa terpanggil untuk saya ketengahkan soal mahram anak susuan , kerana perkahwinan dan anak angkat agar kita lebih jelas. Insyaallah


Takrifan Mahram

Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya kerena sebab nasab, persusuan dan pernikahan (Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam al-Mughni 6/555). Sedangkan muhrim adalah orang yang sedang melakukan ihram dalam haji atau umrah.


Pembagian Mahram

Syaikh ‘Abdul ‘Adzim bin Badawi Al-Khalafi (lihat Al-Wajiiz) menyatakan bahwa, seorang wanita haram dinikahi karena tiga sebab, iaitu karena nasab (keturunan), persusuan, dan musyaharah (pernikahan). Oleh karena itu, mahram wanita juga terbagi menjadi tiga macam yaitu mahram karena nasab atau keluarga, persusuan dan pernikahan.


Mahram Karena Nasab

Mahram karena nasab adalah mahram yang berasal dari hubungan darah atau hubungan keluarga.
Allah swt berfirman dalam surat An-Nur ayat 31, yang artinya, “Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain tudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau bapa mereka atau bapa suami mereka atau anak-anak lelaki mereka atau anak-anak lelaki suami mereka atau saudara-saudara lelaki mereka atau anak-anak lelaki saudara laki-laki mereka atau anak-anak lelaki saudara perempuan mereka.”

Para ulama’ tafsir menjelaskan, “Sesungguhnya lelaki yang merupakan mahram bagi wanita adalah yang disebutkan dalam ayat ini, adalah:

1. Bapa
Termasuk dalam kategori bapa yang merupakan mahram bagi wanita adalah datok,samaada datok dari sebelah bapa maupun dari sebelah ibu. Juga bapa-bapa mereka ke atas. Adapun bapa angkat, maka ianya tidak termasuk mahram bagi wanita. Hal ini berdasarkan pada firman Allah swt yang artinya, “Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu.” (Qs. Al-Ahzab: 4)

2. Anak laki-laki
Termasuk dalam kategori anak laki-laki bagi wanita adalah cucu, baik cucu dari anak lelaki maupun anak perempuan dan keturunan mereka. Adapun anak angkat, maka dia tidak termasuk mahram berdasarkan pada keterangan di atas.

3. Saudara lelaki,
Baik saudara lelaki kandung maupun saudara sebapa ataupun seibu saja.Saudara lelaki tiri yang merupakan anak kandung dari bapa sahaja atau dari ibu saja termasuk dalam kategori mahram bagi wanita.

4. Anak Saudara,
Baik dari saudara laki-laki maupun perempuan dan anak keturunan mereka. Kedudukan anak saudara dari saudara kandung maupun saudara tiri sama halnya dengan kedudukan anak dari keturunan sendiri. (Lihat Tafsir Qurthubi 12/232-233)

5. Bapa Saudara,
Baik bapa saudara dari sebelah bapa ataupun dari sebelah ibu.
Syaikh Abdul Karim Zaidan mengatakan dalam Al-Mufashal Fi Ahkamil Mar’ah (3/159), “Tidak disebutkan bahwa bapa termasuk mahram dalam ayat ini (QS. An-Nur: 31) karena kedudukan bapa saudara sama seperti kedudukan kedua ibubapa, bahkan kadang-kadang bapa saudara juga disebut sebagai bapa.

Allah swt berfirman yang artinya, “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalanku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapa-bapamu Ibrahim, Ismail dan Ishaq.” (Qs. Al-Baqarah: 133)

Sedangkan Isma’il adalah bapa saudara dari anak lelaki Ya’qub. Maka bapa saudara termasuk mahram adalah pendapat jumhur ulama’.


Mahram Sebab Ar-Radha’(Susuan)

Ar-radha’ah atau persusuan adalah bermaksud masuknya air susu seorang wanita ke dalam mulut anak kecil dengan syarat-syarat tertentu (al-Mufashol Fi Ahkamin Nisa’ 6/235).

Sedangkan persusuan yang menjadikan seseorang menjadi mahram adalah sebanyak lima kali persusuan, berdasar pada hadits dari `Aisyah radhiyallahu `anha, beliau berkata, “Termasuk yang diturunkan dalam Al Quran bahwa sepuluh kali persusuan dapat mengharamkan (pernikahan) kemudian dihapus dengan lima kali persusuan.” (HR. Muslim 2/1075/1452)

Ini adalah pendapat yang rajih di antara seluruh pendapat para ulama’ (Lihat Nailul Authar 6/749 dan Raudhah Nadiyah 2/175).

Sesetengah ulama mengatakan bahwa terdapat dua syarat yang harus dipenuhi sebagai tanda berlakunya mahram ar-radha’ (persusuan) ini, yaitu:

1. Telah terjadinya proses penyusuan selama lima kali.
2. Penyusuan terjadi selama masa bayi menyusui yaitu dua tahun sejak kelahirannya.
3. Hubungan mahram yang berasal dari persusuan telah disebutkan oleh Allah swt dalam firmannya tentang wanita-wanita yang haram untuk dinikahi, yang artinya, “Juga ibu-ibu yang menyusui kamu serta saudara-saudara kamu dari persusuan.” (Qs. An-Nisa’: 23)

Dan disebutkan juga oleh Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a ia berkata, “Diharamkan dari persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab.” (HR. Bukhari 3/222/ 2645 dan Muslim 2/1068/ 1447)

Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa mahram bagi wanita dari sebab persusuan adalah seperti mahram dari nasab, yaitu:

1. Bapa Persusuan (suami ibu susu).
Termasuk mahram juga dato persusuan yaitu bapa (ayah) kepada bapa atau ibu persusuan, juga bapa mereka ke atas. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Sesungguhnya Aflah saudara laki-laki Abi Qu’ais meminta izin untuk menemuiku setelah turun ayat hijab, maka aku berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memberi izin kepadamu sebelum aku minta izin kepada Rasulullah, karena yang menyusuiku bukan saudara Abi Qu’ais, akan tetapi yang menyusuiku adalah isteri Abi Qu’ais. Maka tatkala Rasulullah datang, aku berkata,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya lelaki tersebut bukanlah yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku adalah saudara isterinya. Maka Rasulullah bersabda, “Izinkan baginya, karena dia adalah bapa saudaramu.” (HR. Bukhari: 4796 dan Muslim: 1445)

2. Anak lelaki dari ibu susu.
Termasuk anak susu adalah cucu dari anak susu baik laki-laki maupun perempuan. Juga anak keturunan mereka.

3. Saudara laki-laki sepersusuan.
Baik dia saudara susu kandung, sebapa maupun seibu.

4. Anak Saudara persusuan
Baik anak saudara persusuan laki-laki maupun perempuan, juga keturunan mereka.

5. Bapa Saudara persusuan (saudara laki-laki bapak atau ibu susu).
(Lihat al-Mufashol 3/160)

(Rujukan : Dari artikel Mahrom bagi Wanita 2 (Ahmad Sabiq bin ‘Abdul Lathif), majalah Al Furqon, Edisi 4/ II)